3.22.2009

terhantam.

Ketika sebuah kesalahan tidak bisa termaafkan, semua seolah merasa dirinya adalah yang paling benar. Dan disaat itu pula ada hati yang menelan kekecewaan. Gadis itu, adalah orang yang bersalah, atau lebih tepatnya dipersalahkan. Disaat luapan amarah sudah tidak lagi terbendung, dialah sasaran yang paling empuk. Sasaran yang akan selalu diam mendengarkan segala caci dan makian yang memekakkan telinga dan menyayat hati. Kadang, ia ingin bangun. Melawan. Tapi tidak, ia sungguh tidak pantas. Ia belum jadi apa-apa. Ia belum bisa menghasilkan sesuatu yang berharga. Ia belum jadi siapa-siapa. Ia masih menjadi individu lemah yang sangat membutuhkan orang lain dihidupnya. Tidak ada pelampiasan sesak. Hanya bisa menangis disudut kamar kakak perempuannya, berharap ada sosok yang dapat merengkuh semua sesaknya. Mendekap erat tubuhnya hingga tiada lagi deru nafas yang tersengal karena lelah menangis. Disana, di antara kabel optik, hanya pada sosok itu ia bisa bercerita apa saja. Sakit, sesak, senang, bahkan gurauan tidak penting sekalipun. Tapi yang ia perlukan hanya didengar. Ia rapuh, ia jatuh. Kisah hidupnya juga tidak seindah gadis gadis lain seumurannya. Yang kadang mengisi waktu senggangnya dengan bersenang-senang. Tidak, ia tidak seperti itu. Ia hanya gadis biasa yang harus banyak belajar untuk lebih mengerti orang lain. Bukan untuk dimengerti. Belajar agar selalu bersyukur dan tidak banyak mengeluh.

No comments:

Post a Comment